Sejarah

Memori All England 1994 (Bagian 2): Lebaran di Negeri Orang dan Koper Mia Audina Hilang

Ilustrasi suasana All England di Birmingham, Inggris.. (Foto: allenglandbadminton.com)
Ilustrasi suasana All England di Birmingham, Inggris.. (Foto: allenglandbadminton.com)

Penyelenggaraan All England tahun 1994 memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain tempat pertandingan yang dipindahkan dari Wembley, London, ke National Indoor Arena, Birmingham, waktunya pun berdekatan sekali dengan hari raya Idul Fitri.

Maka, beberapa pemain, ofisial, dan wartawan Indonesia yang Muslim termasuk saya pun berlebaran di Birmingham. Persis ketika rombongan Indonesia tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, Ahad (13/03/1994) pagi, seluruh Muslim di Eropa memang sedang merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1414 Hijriyah.

Suasananya tentu tak sama dengan berlebaran di Tanah Air. Tak ada tradisi kumpul-kumpul dengan keluarga. Juga tak ada ketupat serta opor ayam yang menjadi tradisi masakan Lebaran.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

''Ini pertama kali saya berlebaran di negeri orang,'' kata Dr Iwan Setiawan, Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI saat itu. ''Tak apalah, hitung-hitung pengalaman hidup,'' sambung pengajar di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia) ini.

Seperti Pak Iwan, saya juga baru pertama kalinya merasakan Lebaran di luar negeri. Setelah beristirahat menghilangkan jetlag, pada hari Ahad itu saya dan beberapa teman wartawan dari Jakarta keluar hotel. Kami jalan kaki sekadar “cuci mata” dan mencari toko atau supermarket terdekat. Kebetulan belum ada pertandingan dan koran-koran nasional tidak terbit sampai hari Senin karena libur Lebaran, sehingga saya belum dikejar deadline.

Angin masih bertiup kencang di Kota Birmingham siang itu. Saya bersama Ian Situmorang dan Tota M Tobing dari Tablod Bola serta Johnny F Tamaela dari Pikiran Rakyat menyusuri jalan ke arah yang tampak ramai. Setiap angin berhembus, rasa dingin sampai ke tulang. Untuk mengatasinya sesekali kami berlindung di balik tiang beton yang besar.

Saya sudah mengenal Bang Johnny –begitu biasa saya memanggilnya—ketika saya masih bekerja di Harian Gala (sekarang Galamedia) Bandung antara 1989 dan 1992. Saya memang sering bertemu dengannya saat liputan sepak bola khususnya Persib Bandung dan bulu tangkis.

Setelah hampir setengah jam berjuang melawan dinginnya udara Birmingham di luar, akhirnya kami ketemu sebuah supermarket. Tak lama kemudian kami berempat sudah berada di dalam. Lumayan hangat.

Di dalam, kami berpencar mencari keperluan masing-masing. Saya hanya membeli pisau cukur kumis dan sebuah kamus saku The Oxford Popular Dictionary seharga 99 pence saja. Tak sampai satu poundsterling.

Di dalam saya sempat bertemu dengan seorang ibu dan anak perempuannya. Melihat keduanya mengenakan kerudung dan baju kurung serta berwajah Pakistan, saya mengira pastilah mereka juga Muslim. Perkiraan saya ternyata benar. “Ya, kami Muslim,” kata sang ibu.

“Happy Eid mubarok,” saya memberi salam, kami pun berpisah.

Di udara dingin perut cepat terasa lapar. Kami berempat pun sepakat keluar supermarket itu dan mencari tempat makan. Hari sudah lewat siang, tapi sebenarnya sore pun belum datang. Baru berjalan sebentar, kami menemukan sebuah restoran cepat saji di sudut jalan yang sedikit menanjak, persis di tikungan. Dua potong ayam dan kentang goreng sudah cukup menghentikan rasa lapar tadi.

Angin yang masih bertiup kencang dan terasa dingin membuat kami menyetop taksi bercat hitam khas Inggris. Padahal, sebelumnya kami memutuskan kembali ke hotel dengan berjalan kaki. Tak lama taksi sudah berhenti di depan pintu utama hotel New Cobden tempat kami menginap.

Sampai di kamar hotel saya langsung menyalakan pemanas ruangan yang tepat berada di dekat jendela. Dari jendela itu saya bisa melihat lalu lalang tamu atau mobil yang memarkir kendaraannya di samping hotel.

Mia Audina. (Foto: Dok.Rep)
Mia Audina. (Foto: Dok.Rep)

Kemalangan Mia Audina

Keesokan harinya saya mulai mencari-cari berita untuk dikirim ke ruang korlip di Lantai 2 Gedung Republika, Jakarta. Seingat saya, Mas Pur (Purwadi Tjitrawiajata, alrmarhum) yang selalu menunggu kiriman berita saya melalui modem sampai tengah malam waktu Jakarta. Saya senang setiap Mas Pur yang saya telepon dari press room National Indoor Arena maupun dari kamar hotel mengatakan kiriman berita saya sudah masuk.

Saat mencari tahu kondisi terakhir para pemain Indonesia, saya mendengar kabar kemalangan yang menimpa pemain muda Mia Audina. Dia kehilangan kopernya ketika mendarat di Bandara Birmingham, Senin (14/03/1994).

Ceritanya, begitu tiba di Birmingham dari Malmoe, Swedia, ia bersama pata pemain pelatnas lainnya yang baru saja bertanding di Swedia Terbuka langsung mencari koper masing-masing di ruang bagasi. Tapi, setelah lama menunggu ternyata koper Mia tak kunjung datang.

''Saya nggak tahu koper itu nyasar di mana. Padahal, waktu dimasukkan ke bagasi, bareng-bareng dengan yang lainnya. Tapi kok cuma koper Mia yang nggak ada,'' kata pemain berusia 15 tahun ini, dengan wajah sedih, saat saya temui di lobi hotel.

Kesedihan Mia baru agak terobati setelah ada kepastian dia bakal dapat ganti. Bukan dari perusahan penerbangan atau panitia All England, tapi sekadar baju ganti dari rekan-rekan pemain. Dia mendapat pinjaman baju dari teman-teman pemain lainnya.

Meski harus tampil dengan baju pinjaman, tak membuat Mia kecil hati. Baginya yang penting bertanding. Jika tak pinjam, mungkin Mia malah nggak jadi bertanding. Soalnya seluruh pakaiannya ada di koper yang hilang itu.

Mia memang tak menjadi juara di Birmingham. Tapi dua bulan kemudian dia menjadi penentu kemenangan Indonesia atas Cina di final Piala Uber 1994. Dua tahun kemudian dia merebut medali perak Olimpiade Atlanta 1996. Prestasinya di Atlanta diulangi di Olimpiade Athena 2004. Merebut medali perak, tapi sudah membela Belanda –negara asal suaminya. Mia gantung raket di 2006. (Nurul S. Hamami)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

0