Sejarah

Memori Piala Thomas-Uber 1994 (5): Tragedi Scheele Hampir Saja Berulang

Piala Thomas dan Piala Uber. (Foto: BWF)
Piala Thomas dan Piala Uber. (Foto: BWF)

Sepanjang sejarahnya, hanya dua kali Indonesia dan Malaysia bertemu di final Piala Thomas dengan Istora Senayan sebagai tuan rumah. Dan beruntung Indonesia, Sabtu malam 21 Mei 1994 silam bukan perulangan sejarah 27 tahun sebelumnya. Regu bulu tangkis putra Indonesia sukses memboyong Piala Thomas -- sumbangan Sir George Thomas (1939) -- setelah menumbangkan juara bertahan Malaysia 3-0.

Pada 1967, Malaysia -- jiran sekaligus rival bebuyutan Indonesia di lapangan bulutangkis -- menjadi juara turnamen dua tahunan itu melalui sebuah drama kontroversial. Wasit kehormatan Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF, sekarang BWF) Herbert Scheele menghentikan pertandingan Indonesia vs Malaysia (dalam kedudukan 3-4 untuk Malaysia) karena penonton Istora dinilainya terlalu berlebihan dan mengganggu pemain. IBF memutuskan Malaysia sebagai juara setelah Indonesia menolak bermain di dua pertandingan sisa di tempat netral, Selandia Baru.

Dengan kemenangan Joko Suprianto dan kawan-kawan, Sabtu malam itu Istora Senayan seperti berderak tak mampu menahan gelegak kegembiraan penonton. Kegembiraan ganda, setelah sehari sebelumnya di tempat yang sama, regu putri Indonesia menjungkirkan juara bertahan Cina. Indonesia kehilangan Uber -- sumbangan Mrs. H.S Uber (1956) – pada gelaran di Auckland, Selandia Baru, 1978 setelah sebelumnya menjadi juara di Istora Senayan 1975 –mengalahakan Jepang 5-2.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Beruntung memang, tragedi tahun 1967 karena ulah penonton Istora Senayan yang merugikan tim Piala Thomas Indonesia kala itu urung terjadi. Dan Indonesia ditetapkan sebagai pemegang Piala Thomas 1994 dengan kemenangan 3-0 atas tim Malaysia. Namun, dua pertandingan tersisa diputuskan tak bisa dilanjutkan.

Sejak digelar kali pertama di Preston, Inggris, pada 1949, pertandingan final Piala Thomas selalu dituntaskan hingga partai terakhir --meskipun juaranya sudah diketahui sebelum semua partai diselesaikan. Pada final edisi perdana itu Malaysia unggul atas Denmark 8-1. Barulah di final tahun 2000, baik Thomas maupun Uber yang hanya mempertandingkan lima partai sejak 1984, dihentikan setelah satu tim sudah unggul 3-0 ataupun 3-1.

''Itu keputusan saya,'' tegas wasit kehormatan IBF Roger Johansson, pada konferensi pers seusai partai final Indonesia melawan Malaysia, tentang keputusan tak dilanjutkannya pertandingan yang masih menyisakan dua partai lagi.

Menurut dia, keputusan tak menggelar dua partai sisa antara Ricky Subagja/Rexy Mainaky lawan Yap Kim Hock/Tan Kim Her serta Hermawan Susanto lawan Foo Kok Keong, dia ambil setelah mendapat persetujuan kedua belah pihak (Indonesia dan Malaysia). Artinya, tak ada pihak manapun yang mendesak keputusan itu.

''Lagi pula, dua partai itu tidak akan ada artinya lagi, setelah kemenangan 3-0,'' kata Johansson. Ia menambahkan, bahwa sama saja nilainya, baik menang 3-0 atau 5-0 karena Indonesia toh sudah pasti merebut Piala Thomas.

Tim Piala Thomas Indonesia menerima trofi juara 1994. (Foto: Dok Pribadi Hariyanto Arbi via detikcom)
Tim Piala Thomas Indonesia menerima trofi juara 1994. (Foto: Dok Pribadi Hariyanto Arbi via detikcom)

Sesuai peraturan baru IBF, yang disahkan dalam Annual General Meeting pada 15 Mei 1994, dalam partai final wasit kehormatan berhak menghentikan pertandingan yang tak lagi berpengaruh. Hal ini bisa dilakukan oleh wasit kehormatan apabila skor sudah 3-0 atau 3-1.

Alasan lain Johansson adalah, apabila Piala Thomas diberikan seusai pertandingan kelima, dia khawatir penonton sudah tidak bergairah lagi. ''Lebih baik diberikan setelah partai ketiga berakhir, di saat penonton masih sangat bergairah.'' tambahnya lagi.

Meski demikian, Johansson mengaku kecewa dengan polah sebagian penonton itu. Keliaran penonton itu tak hanya membuat pemain dan ofisial Malaysia, kecut. ''Saya pun terkena lemparan stick dan botol minuman,'' sungut Johansson di depan para wartawan.

Agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi, Johansson menyarankan pada pertandingan-pertandingan berikutnya, para pemain yang akan meninggalkan lapangan bisa dijaga keselamatannya. Paling tidak dengan menambahkan ''atap'' di lorong menuju pintu, seperti halnya pada pertandingan sepak bola. Dengan demikian para pemain dan ofisial lawan bisa terhindar dari lemparan-lemparan penonton.

Menurut Johansson, faktor membeludaknya penonton bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Yang sebenarnya ia takutkan adalah para penonton bisa terjatuh karena pagar pembatas rubuh. Diberinya ilustrasi tragedi stadion Hilsborough di sepak bola yang memakan banyak korban tewas keruntuhan dan terinjak-injak.

Ketua Penyelenggara Titus Kurniadi kepada para wartawan mengatakan, bahwa keputusan tak melanjutkan pertandingan diambil dengan pertimbangan matang. Menurutnya, keputusan itu diambil setelah dilakukan pembicaraan antara IBF, PB PBSI, dan panitia penyelenggara.

''Dan dalam waktu yang singkat, kita ambil keputusan bersama-sama. Dan dalam aturan IBF, wasit kehormatan memang berhak menghentikan pertandingan,'' kata Titus. ''Jadi, penghentian pertandingan ini bukan karena permintaan Malaysia yang tak lagi mau main di dua partai terakhir,'' sambungnya.

''Penonton sudah sukar dikendali. Dan pemain kami jadinya tak saja melawan tim Thomas Indonesia, tapi juga melawan penonton, PBSI, dan IBF,'' kata Rahim Dahlan, Pengendali Bina Semangat Tim Thomas Malaysia.

Menurut Dahlan, permainan memang patut dihentikan. ''Penonton nyaris mencetuskan insiden 1967,'' ujarnya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

0