Sejarah

Memori Piala Thomas-Uber 1994 (4): Ketika Indonesia Sandingkan Piala Thomas dan Uber

Piala Thomas dan Piala Uber. (Foto: BWF)
Piala Thomas dan Piala Uber. (Foto: BWF)

Akhirnya impian itu terwujud sudah. Ketika bola pengembalian Ong Ewe Hock melebar di sisi kiri bidang pemain Indonesia Ardy B Wiranata, berakhirlah perlawanan pemain Malaysia tersebut. Sekaligus pula, detik itu niat Malaysia untuk mempertahankan piala Thomas kandas di stora Senayan, Jakarta, Sabtu, 21 Mei 1994 silam.

Untuk kesembilan kalinya kala itu, lambang supremasi beregu putra bulu tangkis dunia kembali ke tangan Indonesia. Sukses ini melengkapi sukses sehari sebelumnya. Di lapangan yang sama, tim piala Uber Indonesia dengan gemilang mengalahkan Cina. Dan ini sungguh bukan kemenangan mudah. Kedua tim bermain seimbang. Partai demi partai dilalui dengan ketat dan sangat membetot urat syaraf. Untunglah ada Mia Audina, ''si cilik'' yang bermain tabah, ulet dan sabar, justru di saat-saat menentukan.

Sukses mewujudkan impian menyandingkan Piala Uber dan Thomas itu memang sudah diramalkan. Untuk Piala Thomas, boleh dibilang saat itu tak ada yang bisa menandingi ketangguhan Ardy Wiranata dan kawan-kawannya. Dalam lima tahun terakhir sebelum digelarnya kejuaraan pada 1994, pemain-pemain putra kita telah bangkit kembali setelah mengalami masa suram pasca-Liem Swie King dan Icuk Sugiarto. Karena itu, kemenangan di Sabtu malam itu tak terlalu mengejutkan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun, tak demikian halnya dengan tim putri. Greget kemenangan mereka terasa sangat kental. Bukan saja karena Piala Uber telah lepas dari tangan Indonesia selama 16 tahun (1978). Bukan pula karena yang tampil sebagian besar adalah pemain-pemain muda, tapi terutama pada semangat juang luar biasa yang mereka tampilkan.

Semangat juang inilah yang telah memupuskan kecemasan bahwa tim Uber Indonesia akan terjegal Korsel di semifinal, atau Cina di final. Semangat juang ini pula yang mengubah wajah-wajah mungil pemain putri kita jadi begitu menakutkan tim lawan. Maka, bisa disaksikan saat itu betapa Mia Audina, penentu kemenangan yang usianya belum 15 tahun dan baru ranking 31 IBF tampil begitu perkasa, tak kalah dari rekan-rekannya yang lebih senior.

Semua itu memang tak lepas dari sistem pembinaan yang dilakukan PBSI. Pencarian bakat dan regenerasi pemain berhasil dilakukan dengan mulus. Begitu pula pemain-pemain muda diberi kesempatan luas untuk menimba pengalaman berlatih dan bertanding. Sukses pembinaan PBSI ini mestinya bisa jadi contoh bagi cabang-cabang olahraga lain. Bravo, PBSI..!

Kalaupun ada yang perlu disayangkan dari pertandingan besar itu adalah ulah penonton yang memuncak pada pertandingan final Piala Thomas. Untunglah, tragedi Scheele tahun 1967 tidak terulang. Untung pula, dengan simpatik dan sportif, Dr Abdullah Fadzil Che Wan, Ketua BAM (Badminton Association of Malaysia) ''memaklumi'' ulah penonton, sambil mengakui keunggulan tim Thomas Indonesia.

Di masa-masa mendatang, kegarangan suporter Indonesia seperti itu semestinya jangan terulang. Benar, penonton di Istora Senayan tak perlu seperti penonton All England yang 'sopan santun'. Tapi kegarangan seperti dua malam lalu itu sungguh mencemaskan. Sayang sekali, pertandingan yang begitu indah harus ternoda ulah kita sendiri.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

0